Sabtu, 27 Juni 2015

Pride, Faith, Respect: How I Struggle on Japanese Pop Culture Society in Indonesia

Udah lama ngga nge-blog euy. lebih tepatnya satu setengah tahun :)) maklum, masuk kuliah jadinya sibuk.
Selama satu tahun ini, saya banyak belajar dari pengalaman-pengalaman menarik di sekitar, terutama di bidang kebudayaan Jejepangan. 
Also, GUE SEKARANG BISA MAIN NEPTUNIA DI PC. FUCK YEAH!
Oh iya, sebelum ke topik, saya mau curhat dulu. Sorry kalo tl;dr.




--------------------------------------------------

Satu tahun lebih yang lalu, saya dikasih rekomendasi anime yang judulnya Aoki Hagane no Arpeggio. Setelah nonton sampe abis, temen saya yang dari game Need For Speed World nunjukkin salah satu game dari Jepang yang bener-bener mulai naik daun. Pas saya coba, ternyata ini game online paling cocok yang saya mainin seumur hidup setelah NFS World. Gamenya cuman klik-klik-an doang :)) tapi tetep rame menurut saya. Sampai sekarang, game itu saya mainin (meskipun udah agak males karena lagi fokus ke hobi yang produktif kayak buat gitar cover dan semacamnya). Game itu bernama Kantai Collection.

Awal-awal emang tertarik sama yang namanya Kantai Collection atau KanColle ini, cuman agak ragu soalnya ngedaftarnya bener-bener ribet. Gamenya cuman dikhususin buat orang Jepang doang. Setelah dikasih tau cara-caranya, akhirnya saya lolos lotrenya dan main game itu. Awalnya cuman pengen dapet Iona soalnya lagi event kolaborasi sama Arpeggio pas itu. Ujung-ujungnya, Iona cuman jadi mitos. Tapi itu malah ngebuat saya jadi sering main. Sampai sekarang, saya udah nikahin dua kapal destroyer, Verniy sama Amatsukaze.


Istri kedua, Amatsukaze

Istri pertama, Verniy


Di awal-awal saya main, saya diundang untuk ikut di dalam grup suatu komunitas KanColle yang baru di buat. Dulu pas masih adem ayem saya suka ikut nimbrung disana. Dulu saya ngga ngarep apa-apa untuk komunitas, yang penting saya mah hidup damai ga cari perkara, plus nyari temen baru (maklum seneng bersosialisasi).
Sekarang, komunitas itu jadi komunitas KanColle terbesar di Indonesia, dan banyak banget pengalaman yang didapet dari sana, terutama di bagian gathering pas ada event Jejepangan. Komunitas itu namanya Nusantara Kancolle Community 1948.



Lupa gw ini Comifuro berapa

 Saatnya ke topik, bung. This is getting serious, but hey, relax.

---------------------------------------------------------------------------------  

"Times are changing...for the worse."
Oke, ini opini saya sendiri, terserah mau setuju atau kagak juga yang jelas saya ngga mengatasnamakan pihak ketiga meskipun saya lagi hidup di suatu komunitas, fandom, atau golongan tertentu. Jadi, jangan salahin mereka, salahin saya aja.

Tahun 2011 ketika pertama kali saya masuk ke sebuah scene baru yang bernama Japanese Pop Culture, ketika itulah dimana imajinasi saya yang tercekik karena dunia nyata bisa dilampiaskan di sana. Dulu yang namanya seneng banget sama yang namanya anime, manga, lingkarkarya a.k.a. doujin, sama cosplay. Mereka bener-bener ngasih warna kehidupan saya yang ketika itu masih labil dan belum move on dari kehidupan SMP yang kelam.
Tapi, seiring berjalannya waktu, pandangan saya berubah soal itu. Dunia Jejepangan sekarang malah makin gelap, banyaknya kesenjangan dan konflik antar idealisme yang biasanya kita sebut dengan DRAMA.
DRAMA.
DRAMA.
DRAMA.
 


Hayo, siapa yang sudah merinding?

Mungkin cuman saya aja yang ngerasain, atau emang makin lama makin banyak orang-orang yang nyoba untuk terlalu serius sama ribut di dunia hobi gini? 
Ribut soal seberapakah cinta kalian terhadap waifu kalian,
Ribut soal kualitas fandom yang dipengaruhi oleh beberapa weeaboo (bacanya wibu),
Ribut soal mana anime yang berkualitas dan mana anime yang sampah,
Ribut soal perbedaan idealisme di antara beberapa cosplayer seperti totalitas atau just for fun
Ah pokoknya mah macem-macem.
Yang jelas, kalo saya buka FB, tiap bulan(bahkan minggu) ada aja drama di antara sesama penyuka budaya yang sudah besar ini. Entah saya juga bingung untuk apa mereka terlalu membawa hal ini dengan cara yang negatif.


Yang bisa saya simpulin dari beberapa kasus yang udah terjadi, rata-rata netizen di Indonesia sekarang terlalu berlebihan jika ada suatu kasus atau masalah yang lagi di hadepin, terus diumbar-umbar di status atau fanspage terus dishare temennya ke khalayak netizen. Otomatis banyak beberapa yang ngebela dia, lalu masalah sepele itu pun jadi besar. Layaknya ada orang ditimpuk sama anak kecil pake kelereng, orang itu ngelapor RTnya sama geng-gengnya untuk ngekeroyok bocah tersebut.
Saya tau nggak semuanya gitu, tapi ayolah, sering mengeluh itu nggak baik. Aura-aura negatifnya malah makin menyebar ke orang lain dan itu membuat suasana yang nggak nyaman banget. Semua orang jadi baper, ikut-ikutan ngeluh juga.

Ini yang membuat mata saya terbuka. Saya (masih mencoba) berhenti mengeluh di status soal orang lain.

Why everyone gotta be so rude?

How do I fight it? 
Banyaknya populasi "wibu" di Indonesia yang mengurangi nilai suatu hobi, fandom, atau semacam itu lah menyebabkan banyaknya para "elit" yang take action dengan cara yang err....begitulah. Contohnya seperti nge-screenshot kesalahan seseorang tanpa disensor terus diposting di wall terus banyak netizen yang respon terus ikut-ikutan nge-bully orang yang bersalah itu secara rame-rame.
Yang jelas ketika saya ngeliat temen posting kayak gitu dan ngajak untuk nyudutin "bocah" itu, respon saya cuman satu: "Ga ikutan. That's not my style."


Ya tau lah biasanya di manapun ada yang kayak gitu. Jujur, biasanya saya juga nge-klik link itu terus mentengin sambil bagi-bagi popcorn ke pengamat yang lain, dan ikutan komen juga kayak "ada Aqua?" atau "Saatnya adzan Maghrib bagi wilayah..." (karena saya suka ice-breaking).
Memang ironis, tapi tetep aja di mata saya kedua belah pihak itu ada salahnya. Pihak korban dan pihak bully.

Kenapa saya bilang kayak gitu? Saya ngerti kok itu orang emang ngasih cancer di postingan-nya, tapi dengan cara ngejatuhin secara "kasar", itu yang paling saya gak suka.

Banyak banget di sekitar kita orang-orang yang judgemental terhadap urusan orang lain. Seperti misalnya (contoooh...) ada seseorang yang nge-judge seorang cosplayer dengan gamblang karena fisik nggak pas atau pakaiannya kurang mendetail, out of character alias OOC atau apalah itu, orang itu membicarakannya di status, atau ke temannya tentang sisi negatifnya aja, terus di-jatuh-jatuhin.
"Terus apa salahnya? Itu kan hak-hak dia!"
Yep, itu hak dia untuk menilai sesuatu. Kamu bener, bung, HAM. Lalu salahnya dimana? Salahnya dia nggak bisa ngerasain bagaimana jika dia ada di posisi seperti cosplayer tersebut.

Bagaimana reaksi kalian ada di posisi si cosplayer tersebut? Saya nggak tau, tapi yang jelas ada pengaruh dalam perkembangan dia untuk terus berkarya meskipun sedikit. Gimana misalnya kalau besok-besok kepercayaan dirinya dia jatoh terus terpaksa berhenti untuk berkarya? 
Mungkin ada beberapa di antara yang nggak peduli karena setidaknya kalian sukses menambah prestasi dalam menghilangkan sebuah "kanker" dalam kehidupan kalian, tapi rata-rata kalian pasti percaya sama hal yang namanya karma, bukan? Bukan, bukan Karma yang di Assassination Classroom.
Saya nggak mau bilang ini untuk cosplay doang, tapi juga di bidang video, musik, ilustrasi, fanfiction, dan semacamnya. Bahkan dalam selera nonton anime juga.

Bung, ini cuman suatu kesenangan, suatu hobi yang ngisi waktu kita sehari-hari, kenapa harus menyingkirkan orang-orang yang masih awam dan baru di scene ini karena mereka memberimu "kanker"? Kenapa nggak kita bimbing mereka aja ke jalan yang menurut kalian benar dengan cara yang lebih halus? Kenapa harus rant-ing di status kalau kamu bisa ngajarin mereka tentang kebenaran secara halus? Mereka-nya ndableg atau merekedeweng atau keras kepala? Solve it personally.

Saya nggak tau latar belakang kalian kayak gimana, tapi nggak sedikit keyboard warrior yang kehidupan aslinya bertolak belakang dengan kelakuannya di internet. Nggak sedikit.
Mungkin kalian sering ngeliat beberapa orang-orang yang merasa pintar sampai-sampai jika ada seseorang yang salah, mereka bakal caci maki, nyindir, sarkas, atau semacamnya, tapi ketika kalian bertemu sama mereka, mereka lebih suka mantengin gadgetnya dibanding ngobrol bareng sesama. Cuman ngejawab pelan ketika diajak ngobrol. Saya nggak bilang "introvert itu salah", tapi saya pengen ngasih tau untuk para introvert bahwa masih ada orang yang mau ngajak ngobrol dengan kalian. Jujur, saya seneng ngobrol sama orang-orang introvert, mereka itu kayak seseorang yang harus kita pahamin, gitu. Jadi kita nggak selalu melihat di satu pandangan.
Mereka juga punya perasaan.

Intinya, disitu saya merasa sedih ngeliat beberapa orang di sosial media sekarang, yang lebih banyak mengeluh dibanding berpikir positif dengan apa yang mereka lihat atau hadapi. Lebih terlihat garang di sosial media dengan beberapa bait mau itu yang high-quality ataupun low-quality. Bener apa yang dibilang Paul Bostaph, drummer-nya Slayer, kalau sekarang banyak orang menjadi pengecut yang hanya berani meledek dan berdebat melalui belakang layar mereka.

Terserah kalau kalian gak setuju dengan apa yang saya omongin di atas ini, terutama kalian para elitis yang bakal nganggep saya wibu, plebs, retarded, butthurt, filthy, atau apalah itu bahasa kalian yang kalian pelajarin di forum atau komunitas di luar negeri.
(pasti udah ada yang ngejudge langsung dari judul blog gw yang terlihat jelas ke-wibuannya, "ah ini mah wibu berkedok punk", hahaha...)

Gw gak peduli karena itu cuman labelling doang bagi gw. 
I have my own principle, and I have my own faith that I use for making some positive environment in Japanese Pop Culture scene. 
I'm not like you and your "followers" who loves bashing people from your status.
I'm the one who against the grain. That's my pride.

Oh yes, bait kalian ena' bagi gw. Nih gw kasih hiburan.